27 Januari 2006

Bercinta Dengan Tuhan


Anda pernah jatuh cinta? Pernah melihat atau sekadar berkenalan pada seseorang, lalu anda mulai tertarik dengannya? Awalnya mungkin ada sebuah 'rasa' terhadapnya.Lalu anda mulai sering memikirkannya. Banyak hal yang dilakukannya membuat anda tertarik, walaupun mungkin tidak setiap saat kita berinteraksi dengannya. Ketika dia kelihatan ramah dan tersenyum pada kita satu atau dua detik, atau sekadar berkata "Hi, apa kabar?" sambil tersenyum, fikiran kita mulai beranggapan.

"Wah, ramah dan baik sekali... kalau jadi isteri/suami akan baik... " dan seterusnya.

Ketika anda sedang sibuk, lalu teringat lagi padanya, kamudian muncul rasa ingin bertemu dengannya. Kita mulai berkhayal. "alangkah bagus kalau dapat bertemu dengannya."
Ketika kita melihat dia ramah pada anak-anak, maka fikiran kita beranggapan lain lagi. "Wah, betapa dia seorang ibu/ayah yang ideal."

Ketika kita sudah mulai berinteraksi satu-dua kali, ternyata tutur katanya ramah, santun, dan sebagainya. fikiran kita mengambil indikator ini, "Ternyata orangnya baik. seronok diajak berbual. Pemikiran kita menyambung... tambah pula kelakar." Ditambah lagi dengan maklumat dari teman-teman kita, katanya dia orang baik, kelakar, bertanggung jawab dan sebagainya.

Lalu dia mulai sering ada di fikiran kita. wajah dia, dalam fikiran kita,kini sudah menjadi khayalan satu keperibadian manusia yang utuh: orangnya baik, cantik/hensem, ramah, cerdas, kelakar, bertanggung jawab, dan seorang suami atau isteri yang ideal.Sepotong senyuman atau interaksi satu-dua kali, sudah cukup untuk membuat mekanisme kecerdasan kita membentuk satu rupa keperibadian yang utuh di dalam khayalan kita.Dan sekarang, dengan rupa yang utuh di dalam fikiran kita ini, kita mulai benar-benar jatuh cinta kepadanya. Ingat terus, kalau ditelepon atau bertemu merasa senang sekali, dan seterusnya.

Indikator-indikator keperibadian yang tadinya disimpan di kepala kita sebagai data, dengan kemampuan persepsi otak kita diolah menjadi suatu rupa yang utuh, dan akhirnya kita jatuh cinta dengan rupa ini. Indah sekali kan?Pada tahap ini, kenapa kita bisa jatuh cinta hanya dengan satu senyuman, atau satu-dua kali berbual? khayalan. Itulah keunggulan mekanisme fikiran kita. Kita dibekalkan kemampuan berkhayalan tentang sesuatu, sehingga dari data yang sedikit bisa dipersepsikan, atau dikhayalkan, bagaimana rupa keperibadian orang itu dengan utuh.

Lalu semakin lama anda berberbual dengannya, mulai nampak pula hal-hal yang tidak terlalu kita sukai dari dirinya. Kita mulai menimbang-nimbang, berfikir positif atau negatif mengenai dirinya.Cinta kita sudah mulai memasuki tahap cinta rasional, bukan hanya cinta emosional. Rasa cinta tidak lagi demikian terasa dahsyat dan menggebu-gebu di dalam dada kita. Sekarang kita mulai 'mendapatkan pengalaman' berbual dengan dia yang sebenarnya.
Pada tahap ini, kita membuat kesimpulan tidak sesuai dengannya. Atau jika kebetulan kita dapat berkahwin dengannya, setelah sepuluh tahun berkahwin, misalnya, cinta kita tidak lagi terasa demikian emosional dan menyenangkan seperti ketika awal bertemu.Pada tahap ini, cinta kita sudah mulai menjadi cinta yang rasional dan dewasa. Diwarnai oleh tanggungjawab, peranan sosial, kewajiban, pemakluman, dan lain sebagainya. Intinya, kini belum tentu 'semuanya indah sekali' seperti dulu.

Lalu kenapa dulu rasa cinta itu bisa terasa demikian menyenangkan dan 'dahsyat' terasa di dalam dada? Sekali lagi, khayalan!. Dulu, sebenarnya kita jatuh cinta bukan pada dia, tapi jatuh cinta kepada 'khayalan kita tentang dia'.Kita jatuh cinta pada rupa dia yang ada di fikiran kita, bukan pada dia yang sebenarnya. Kini, setelah lama berbual dengannya, kita mulai mengenal dia yang asli, bukan hanya khayalannya. Dia yang asli, dengan 'khayalan kita tentang dia' tentu berbeza.Dia yang asli bisa kita kenali dengan berbual dengannya, dan bukan melalui 'khayalan' kita tentang dia.

Demikian juga dengan mengenal Tuhan. Sebenarnya, tidak cukup untuk mengenal Dia hanya dengan indikator sifat yang diperoleh 'kata orang', menurut buku, kata ulama, dan sebagainya.Kita selama ini hanya mendapatkan data tentang Dia dengan 'katanya'. Kalau kita jujur pada diri kita sendiri, tanyakanlah: siapa Tuhan yang kita mengaku mencintai-Nya itu? Siapa yang kita sembah itu?

Jawablah dengan jujur: kita benar-benar mencintai-Nya, atau baru mencintai khayalan kita tentang diri-Nya, yang terbentuk di kepala kita?

Sudahkah kita mengenal Dia yang sebenarnya, dan bukan rupa Dia yang dalam khayalan kita itu? Siapa yang kita sembah? Dia yang asli, atau Dia yang khayalan kita? Padahal Tuhan tidak menerima penyembahan selain kepada Dia. Dia yang asli.Seseorang yang memasuki disiplin sufi, sebenarnya adalah mereka yang ingin mengenal Dia secara real dan bukan khayalan fikiran saja, bukan 'kata orang', justeru kerana tidak ingin jatuh pada kemusyrikan dengan tersesat menyembah 'Tuhan yang khayalan'.

Mereka ingin mencari Tuhan yang sebenarnya (tentunya dengan sangat tidak mudah, kerana Tuhan adalah sesuatu yang Maha Tinggi). Walaupun ini sangat sulit, tapi sebagian orang berusaha --berjihad-- dengan segenap dirinya untuk menjalankan disiplin ini.Dan kerana pintu mengenal Tuhan adalah kesucian hati, maka mustahil pula orang yang mengaku menjalankan disiplin ini tanpa menjalankan syariat yang telah ditetapkan Qur'an dan Rasulullah saw.
Kalau ada 'sufi' yang tidak solat atau puasa, misalnya, sudah jelas dia hanya 'mengaku-aku' saja sedang menjalankan disiplin tasawuf. Mustahil hati boleh menjadi suci tanpa syari'at. Rasulullah adalah gerbang menuju Allah.

"Bagaimana jika sudah ma'rifat? Apakah syariat tidak lagi diperlukan? Maka solat tidak perlu lagi?.. " Nah, ini juga sebuah kesalahan umum yang sangat parah. Ma'rifat bukan akhir perjalanan.

Ma'rifatullah (mengenal Allah) adalah proses akhir, bukan titik akhir. Perhatikan: proses, bukan titik.

Dan semua orang yang benar-benar menjalankan disiplin tasawuf ini tahu, proses akhir ini adalah sebuah proses yang tidak akan pernah berakhir, kerana Tuhan adalah Maha Tak Terbatas. Proses mengenal sesuatu yang tak terbatas akan berlangsung selama jangka waktu yang tak terbatas pula.Hanya bezanya dengan berberbual dengan manusia, kalau semakin mengenal manusia kita akan semakin mengenal kekurangannya pula, tapi jika dengan Tuhan, semakin berberbual dengan Tuhan, kerana Dia Maha Indah, maka semakin mengenal-Nya pun akan semakin jatuh cinta dan semakin jatuh cinta saja.Tapi bezanya, bukan cinta yang di-khayalkan ke kepala kita sendiri: "Saya mencintai Tuhan!! Alangkah indahnya Tuhan!!" dan semacamnya. Kecintaan pada tahap ini adalah sebuah ungkapan hati yang jujur. Sebuah cinta yang 'dialami', bukan cinta yang dikhayalkan ke kepala.

Inilah makna dari perkataan yang masyhur dari salah seorang sahabat Rasul: "Awaluddiin Ma'rifatullah". Awalnya Agama adalah mengenal Allah. kerana dengan mengenal Dia yang sebenarnya, barulah seseorang berberbual dengan Agama yang sebenarnya pula.Jika seseorang hanya mengenal khayalan dirinya sendiri tentang Allah, seharusnya perlu dipertanyakan apakah kita benar-benar berjalan di atas Diin (agama)? Atau kita hanya 'berkhayalan' tentang ad-Diin itu?Demikian pula, seseorang tidak bisa dikatakan sebagai seorang sufi atau sedang menjalankan disiplin tasawuf, jika hanya membaca buku-buku tentang tasawuf dan sufi, atau menghadiri pertemuan dan ceramah tasawuf.Inti disiplin tasawuf adalah pengalaman dan bukan 'data tentang sufi'. Seseorang tidak menjadi sufi jika semata-mata hanya 'tahu banyak tentang sufi' tapi tidak menjalani, mengamalkan sufisme

2 Komentar:

Tanpa Nama berkata...

sesugguhnye cita allah tu bawa bahagia, cinta manusia belum tentu bahagia...

Tanpa Nama berkata...

cintai Allah tiada kecewa..TUHAN selangkah ku rapat pada MU, seribu langkah KAU rapat padaku...AMIN.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons